Baru saja tadi saya baca-baca note teman di FB. Dia sedang membahas mengenai sekolahnya dari SD hingga kuliah ini. Yang membuat saya tertarik adalah pada waktu masa-masa mencari perguruan tinggi. Masa-masa itu memang sangat berkesan dan tak terlupakan. Kami memang teman sejak SD dan dia adalah tetangga saya, walau beda desa tapi jaraknya masih relative dekat. Entah mengapa kami selalu mendapatkan hal yang sama saat mencari perguruan tinggi.
Saat kelas 3 SMA, kami harus sudah mulai menentukan jurusan apa yang akan kami ambil dan perguruan tinggi mana. Sepertinya hampir seluruh siswa juga berantusias mencari informasi ini itu, mendaftar PMDK, dan lain sebagainya. Lain hal nya dengan saya. Jurusan memang sudah ditentukan, tapi semua itu hanyalah formalitas sebagai siswa kelas 3 SMA. Apa yang saya lakukan pun hanyalah mengikuti arus teman-teman (hehe). Pokonya kelihatan gak niat banget deh.
Untuk persiapan ujian akhir dan pendaftaran perguruan tinggi, saya dan teman SD saya mendaftar les di tempat yang sama, program dan kelas yang kami ambil pun sama. Bagaimana tidak, berangkat dan pulang sekolah pun selalu bersama. Mungkin karena sudah sering bersama, urusan mendaftar sekolah pun bersama-sama dan jurusan yang sama. Yang sedikit membedakan adalah alternatif pilihan jurusan. Kalau saya dari dulu hanyalah satu pilihan, yaitu Kedokteran, karena saya memang bercita-cita menjadi seorang dokter untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Sedangkan teman saya meimiliki lebih banyak alternatif selain di Kedokteran, seperti kesehatan masyarakat, gizi, dan Farmasi. Nah, dari situlah saya mulai memiliki pertimbangan lain.
Pendafaran pertama adalah UM-UGM. Jujur saja, waktu itu memang ada keinginan untuk masuk kesana karena ingin menyusul kakak di Jogja. Tapi itu hanyalah keinginan yang dangkal. Niat pun belum begitu bulat dan belajar pun belum terfokus. Nilai try out di tempat bimbel saja masih belum memenuhi syarat. Tapi, anggap saja yang ini adalah ujian percobaan alias coba-coba. Mengukur kemampuan saya, disini saya tidak memilih prodi Pendidikan dokter, melainkan Farmasi dan Gizi. Namun, ternyata saya salah strategi karena kedua pilihan saya itu adalah pilihan favorit dan penempatan urutan pun terbalik. Ditambah lagi saat itu kondisi tidak fit, belajar pun asal-asalan, alhasil tidak lolos UM. Begitu pula dengan teman saya. Tapi entah mengapa, kami merasa biasa-biasa saja, tidak ada perasaan sedih.
Selanjutny adalah UM UNDIP. Lagi-lagi saya coba-coba ikut lagi dengan asumsi “hitung-hitung latihan, lah,,”. Perlu diakui saya mendaftar dengan terlalu percaya diri, mengisi formulir yang 0 rupiah. Kali ini pilihan saya (coba-coba) adalah kedokteran. Saya pikir persiapannya sama sekali tidak matang, pantas saja, hasilnya pun nihil. Teman saya pun bernasib sama dengan saya.
Mendengar teman-teman banyak yang sudah mendapatkan perguruan tinggi, hati saya mulai gelisah. Dan saat itu juga, saya mulai membulatkan tekad untuk serius. Fokus terhadap masa depan. Saya mulai memperbanyak frekuensi belajar dan latihan soal. Ternyata mulai terlihat hasilnya, nilai-nilai try out di bimbel meningkat drastic, bahkan saya masuk peringkat 10 besar. Nilai sudah memenuhi persyaratan di Kedokteran. Dari situ kepercayaan diri saya mulai terbangun sedikit demi sedikit, rasa optimism mulai menyala. Saya mulai gesit mencari-cari informasi pendafataran perguruan tinggi lainnya. Ternyata yang terdeka t ada PMDK tertulis UNAIR. Ternyata teman saya pun mendaftar. Sedikit hopeless juga ketika menyadari sangat banyak siswa kelas 3 yang mendaftar. Itu saja baru lingkup SMA saya, belum lagi lingkup satu Solo, kemudian se Jawa Tengah, kemudian se Jawa, belum lagi se Indonesia. Hmmm,, tapi saya tidak mundur, setidaknya saya sudah punya cukup bekal ilmu. Saya belajar sangat keras, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Seluruh test saya lakoni dengan penuh niat dan semangat. Namun, memang tidak berjodoh, ternyata SMA saya di blacklist oleh UNAIR sehingga tidak ada satu pun siswa dari SMA saya yang diterima (termasuk teman saya). Sedih juga rasanya, gelo. Tapi, tidak apa-apa, masih ada perguruan tinggi yang lain.
UMB-UI adalah pilihan selanjutnya. Semangat saya kian memuncak. Lagi-lagi saya tidak berani memasukkan option kedokteran di sini mengingat passing grade untuk kedokteran UI sangat tinggi. Alternatif yang saya ajukan adalah Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Tidak di sangka-sangka, perjuangan saya membuat hasil. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, saya di terima di UI fakultas Kesehatan Masyarakat. Lagi-lagi senasib dengan teman saya. Benar-benar serasa teman seperjuangan. Namun, di sini saya menemui dilema. Satu sisi, sungguh luar biasa saya bisa menjadi mahasiswa UI. Di sisi lain, orang tua saya sedikit berfikir ulang soal biaya hidup di sana. Jakarta, kota metropolitan. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membiayai kuliah dan hidup sehari-harinya. Ditambah lagi tempat yang sangat jauh dan besar. Mungkin orang tua sedikit khawatir melepas saya di tempat sebesar itu mengingat saya gak mudhengan maslaah jalan dan suka nyasar (hehe). Dari berbagai pertimbangan dan agar tetap focus mencapai cita-cita menjadi dokter, maka orang tua saya meminta saya untuk melepaskan hasil ini. Menolak UI, universitas nomor satu di Indonesia. Ya, saya pun menuruti perkataan orang tua saya dan lanjut ke SNMPTN. Sampai disini perjuangan saya bersama dengan teman saya. Nasihat orang tuanya justru berkebalikan dengan keputusan saya. Dia diminta untuk tetap mengambil UI, padahal saya tahu, dia ingin sekali ikut SNMPTN dan mengambil UNS. Tapi apa boleh buat.
SNMPTN, inilah pertarungan sesungguhnya karena pesertanya jauh lebih banyak dari UM-UM sebelumnya. Semangat saya semakin berkobar dan saya berusaha sekuat tenaga. Di sini saya memilih pendidikan dokter di urutan pertama dan teknik industry pada urutan selanjutnya. Saat mengerjakan ujian, benar-benar merasakan kelancaran yang luar biasa yang membuat saya optimis diterima. Namun, ternyata banyak sekali yang memilih FK UNS, cukup menciutkan nyali. Saya hanya berpasrah kepada Allah mengenai hasilnya, toh ikhtiar sudah saya lakukan.
Sampai pada pengumuman hasil. Jantung berdegup kencang tak menentu. Aliran darah terasa begitu kencang. Lalu, seketika semua itu berhenti ketika membaca tulisan di komputer yang menyatakan saya diterima di prodi Pendidikan Kedokteran UNS. Sujud syukur. Segala puji bagi-Nya. Dan berdoa semoga ini adalah hasil yang terbaik dan memang disediakan untuk hamba oleh-Nya.
Mungkin begitulah kisah perjalanan dalam mencari perguruan tinggi yang begitu panjang. Namun happy ending ^.^
Entah, mungkin karena takdir, saya dan teman saya dipertemukan lagi dalam satu fakultas, walaupun tidak satu angkatan. Dia mengikuti SNMPTN tahun berikutnya, mungkin ingin mengikuti hati nuraninya, haha. Benar-benar teman seperjuangan. Welcome Back my friend,, ^.^
hehe, genah yo bisa nulis panjang nok vit.
BalasHapusbagus juga ni ceritanya...
pas banYak yang harus diceritakan sih, Vi',, ehehehe dan lagi daPet inspirasi,,
BalasHapusakhIrnya salah satu tokoh dari cerita itu koMen juGa,, ihhhihi,,
makasih motivasinya ya, avi,, ^.^